Kamis, 17 September 2009

Obat Herbal untuk Kanker

Terminologi obat herbal cukup populer dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini bisa jadi dipicu oleh mahalnya harga obat sintetis dan ketakutan masyarakat terhadap bahaya efek sampingnya.

Opini itu tumbuh seiring dengan kecenderungan gaya hidup yang mulai kembali ke produk-produk alami. Di berbagai negara, hal ini dikenal sebagai "gelombang hijau baru" atau dalam bahasa Inggrisnya adalah new green wave. Gerakan ini berupaya menggunakan kembali bahan-bahan yang didapat dari alam.

Selain derita yang ringan, banyak orang menunggu pengembangan obat herbal sebagai alternatif untuk penanganan penyakit mematikan semacam kanker. Apalagi hingga kini belum ditemukan obat spesifik yang bisa menghentikan perkembangan sel kanker pada tubuh pasien. Nah, guna menakar besarnya manfaat terapi obat herbal, khususnya untuk kanker, diperlukan segudang studi untuk menelusurinya.

Di Indonesia, menurut Ketua Umum Perhimpunan Peneliti Bahan Alam Dr Maksum Radji, belum banyak yang meneliti khasiat obat herbal secara in vivo (langsung kepada pasien kanker) manusia. Namun, secara sektoral, Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, dan Rumah Sakit Dokter Sutomo, Surabaya, telah memulainya.

"Di kedua rumah sakit itu, beberapa pasien sudah menggunakan obat herbal," ujar Maksum seusai jumpa media acara Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV yang bertajuk "Pendayagunaan Produk Bahan Alami dalam Mengatasi Kanker" di Auditorium BPPT, Jakarta, pekan silam. Secara formal, ditambahkan Maksum, tata laksana dari Departemen Kesehatan masih tetap memakai obat sintetis, kemoterapi, dan penerapan teknologi kanker modern. Nah, menurut Maksum, obat herbal diharapkan bisa mendampingi kemoterapi dan satu sama lain saling mendukung.

Menurut hematologis dan internis RS Kanker Dharmais, Profesor Dr dr Arry Harryanto Reksodiputro, SpPD-KHOM, obat herbal cukup efektif untuk meningkatkan imunitas tubuh pasien kanker. Pernyataannya itu didasari oleh studi yang dilakukannya kepada 15 pasien kanker nasofaring di RS Dharmais selama satu tahun terakhir.

Dalam studinya itu, Arry memakai jenis obat herbal yang berasal dari ekstrak obat herbal Cina bernama tien-hsien liquid. Obat ini berisi beragam kandungan, di antaranya Cordyceps sinensis, Oldenlandia diffusae, Indigo pulverata levis, dan Polyporus umbellatus.

Studi ini dilakukan terhadap pasien kanker nasofaring yang telah menjalani terapi kemoterapi atau radiasi. Hasilnya, pemberian obat herbal itu selama empat pekan bisa meningkatkan imunitas pasien kanker yang biasanya menurun akibat kemoterapi ataupun radiasi. "Obat herbal di Cina rata-rata meningkatkan fungsi-fungsi sel darah yang berperan dalam respons imun," ujar Arry kepada Tempo seusai menyampaikan presentasinya yang berjudul "Uji Klinik Obat Herbal dalam Terapi Kanker".

Menurut dia, sebagian besar obat herbal tidak mempunyai efek membunuh sel kanker secara langsung--berbeda dengan obat sintetis, yang langsung menyerang sel kanker. "Obat herbal itu bersifat suportif, seperti menimbulkan nafsu makan, menghilangkan rasa sakit, membuat orang tidak lemas lagi, dan meningkatkan daya tahan tubuh," ujarnya. Dia menjelaskan, penelitiannya ini masih bersifat preliminary study atau baru evaluasi pendahuluan. Untuk melihat secara holistik, harus lebih banyak lagi studi yang mesti dilakukan kepada pasien kanker. Demikian pernyataan dokter berkacamata itu.

Dalam simposium itu juga dipertunjukkan ratusan hasil studi ilmiah para peneliti, di antaranya studi yang dilakukan Ratih Hardika Pratama dan kawan-kawan dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ratih serta rekan-rekannya meneliti efek sitotoksik (memperlemah sel kanker) pada ekstrak etanolik daun awar-awar terhadap sel kanker kolon dan serviks. Ekstrak etanolik daun awar-awar mengandungalkaloid fenantroindolisidin, yang terbukti memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker.

Berdasarkan hasil uji sitoksisitas, didapati bahwa perlakuan ekstrak etanolik daun awar-awar selama 24 jam dapat menghambat pertumbuhan sel kanker, baik di kolon maupun leher rahim. Efek ini meningkat seiring dengan peningkatan dosisnya. Hasil ini telah menunjukkan bahwa ekstrak tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen kemopreventif pada kanker kolon dan leher rahim.

Menurut Maksum, ada sekitar 300 peserta dari berbagai institusi penelitian, perguruan tinggi, klinisi, dan kalangan industri dalam simposium yang digelar selama dua hari itu. Kemudian sekitar 130 paper ilmiah dipresentasikan, yang mencakup bidang seperti bioteknologi, teknologi farmasi, mikrobiologi, dan fitokimia. Studi-studi itu memang kebanyakan baru sebatas penelitian secara in-vitro (tidak diuji coba langsung pada tubuh manusia).

Lebih dalam, dari 1.056 jenis bahan aktif obat-obatan herbal di Indonesia, baru 2 persen di antaranya lolos sertifikasi Departemen Kesehatan. Contoh bahan herbal yang sudah menjadi fitofarmaka (obat tradisional yang sudah memenuhi syarat untuk dipakai di poliklinik dan rumah sakit) adalah Stimuno--nama merek dagang yang mendapatkan sertifikat fitofarmaka dari BPOM pada 2005. Nama tanamannya adalah Phyllanthus niruri. Tanaman ini sudah diteliti pada hewan uji coba sampai ke manusia.

Ke depan, bukan tidak mungkin ada interaksi antara obat herbal dan modern. Atau sebaliknya, obat herbal malah memperkuat efek dari kemoterapi. Adapun obat herbal masih perlu sinkronisasi dari penelitian di batasin vitro ke penelitian in vivo. Yang, menurut Maksum, masih menjadi kendala adalah perhitungan dosisnya. "Permasalahannya, bagaimana cara memindahkan hasil penelitian dari hewan ke manusia," ucapnya.


Formula Antikanker
1. Sebagai sitostatika (memperlemah sel kanker).
Tapak dara (leukemia), sambiloto, keladi tikus (payudara dan serviks), cakar ayam (serviks serta payudara), kunyit (payudara), temu putih (serviks), kunyit putih, dan mahkota dewa (leukemia serta serviks).
2.Sebagai imunostimulan (meningkatkan daya tahan tubuh).
Echinaceae, meniran, pegagan, sambiloto, dan temu putih.
3. Sebagai antiinflamasi (mengurangi peradangan).
Kunyit, temu putih, kunyit putih, dan sambiloto.
4. Sebagai analgesik (mengurangi sakit).
Kencur.

(Sumber: Lucie Widowati, Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan)

- 19 Agustus 2009


Sumber :

Heru Triyono

http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/08/19/brk,20090819-193228,id.html

17 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar